Kamis, 12 Januari 2012

ogyakarta punya arti penting untuk Sri Kusyuniati Ph.D. Bagi wanita yang kini menjabat sebagai Behavioral Change Intervention Manager (BCI Manajer) di Maternal and Neonatal Health (MNH) ini Yogyakarta merupakan tempat yang paling pantas dijadikan percontohan bagaimana semestinya memperlakukan ibu yang hamil dan baru melahirkan.
“Pada masyarakat Yogya, 97 persen dari setiap 100 ribu kelahiran hidup terselamatkan. Karena masyarakat Yogya punya budaya yang mengutamakan kesehatan ibu hamil sampai 40 hari setelah melahirkan. Misalnya mengutamakan memberikan makanan untuk ibu hamil dan melarang bekerja keras. Mereka biasa membuatkan makanan untuk tetangga yang sedang hamil, demi anak yang dikandungnya,” kata Mbak Kus, panggilan akrab Sri Kusyuniati.
“Sebagian besar orang Yogya juga percaya bisa membantu mengantar ibu yang hendak melahirkan dianggap membawa rezeki. Jadi jangan heran kalau tukang becak pun bersedia tak dibayar dan berebut kalau diminta mengantar ibu yang hendak melahirkan,” katanya .
Perilaku masyarakat, khususnya yang berhubungan langsung dengan perlakuan terhadap ibu hamil dan yang baru melahirkan memang menjadi perhatian khusus Kus. Ini karena dialah yang bertanggung jawab penuh dalam program-program pengubahan perilaku masyarakat di MNH. MNH sebuah program kerja sama antara Departemen Kesehatan, Kementerian Perberdayaan Perempuan, BKKBN, dan USAID, untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan melahirkan.
Dalam perjalanannya menyelidiki, merancang program dan melaksanakannya, Kus seringkali melihat bahwa kematian ibu hamil dan karena melahirkan seringkali disebabkan oleh masalah yang sangat sederhana. “Kadang alasan kematian akibat masalah non medis yang sebenarnya bisa dihindari seperti terlambat mendapat pertolongan saat terjadi pendarahan, tidak ada donor darah, pemeriksaan kehamilan yang tak teratur, pola makan kurang bergizi dan masalah pengambilan keputusan dalam rumah tangga,” kata Kus.
Di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) yang disebabkan proses persalinan memang tergolong tinggi. Berdasarkan data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan pada 1995 diperkirakan terjadi 373 kasus kematian ibu dari setiap 100 ribu kelahiran hidup. Ini berarti AKI di Indonesia 3-6 kali lebih tinggi dibanding negara-negara ASEAN dan 80 kali lebih tinggi dibanding negara-negara maju.
Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan angka kematian ibu saat melahirkan tertinggi di dunia. Masalahnya menjadi sangat pelik ketika aspek sosial, kultural dan ketidakadilan gender semakin membebani aspek kesehatan yang mestinya menjadi perhatian utama pada ibu yang hamil hingga masa melahirkan. “Maka kami melakukan pendekatan secara personal, kultural, sosial dan pendidikan, budaya dalam usaha mengubah perilaku masyarakat,” kata Kus yang mulai bergabung dengan MNH sekitar 5 bulan lalu.
Masalah kepedulian kepada masyarakat memang bukan hal baru untuk Kus. Sejak masih duduk di bangku kuliah di IKIP Yogyakarta di tahun 1983, Kus telah akrab dengan dunia lembaga swadaya masyarakat yang langsung mengurusi masalah kesetaraan gender dalam masyarakat. Pada 1980-1993 Kus sempat menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) salah satu organisasi wanita yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan khususnya kaum buruh. “Waktu itu memang organisasi yang berbasis perempuan tidak sebanyak sekarang, kami sempat dicap macam-macam. Karena saat itu isu perempuan memang baru bergaung di tataran keluarga,” kenangnya.
Lalu berbekal keberanian yang sama, Kus bersama beberapa orang temannya kemudian membentuk Rifka Annisa Women’s Crisis Center pada 1997. Ini adalah pusat krisis wanita pertama di Indonesia. “Itu saat banyak orang bertanya apa itu kekerasan terhadap perempuan,” katanya. Kus merasa sempat juga dicibir. “Sebenarnya masalah kekerasan terhadap perempuan ini kan macam gunung es. Di Malaysia saja yang aman damai ternyata angka kekerasan terhadap perempuannya luar biasa. Pada 1998 menjadi puncak kekerasan terhadap di Indonesia terbongkar dengan kasus perkosaan masal yang terjadi bersamaan dengan kerusuhan massal,” kata wanita kelahiran Yogyakarta 20, Juni 1958 ini.
Berangkat dari pengalamannya menangani dan mendampingi para perempuan korban kekerasan inilah Kus menemukan satu fakta baru tentang kekerasan terhadap perempuan. “Membiarkan ibu meninggal karena kehamilan dan melahirkan adalah isu hak asasi manusia juga,” kata ibu dua orang anak ini. Betapa tidak, karena berdasarkan data yang dihimpunnya di Indonesia terjadi 22 ribu kematian perempuan per tahunnya, 85 persen dari akibat kematian tersebut sebenarnya bisa dihindari. “Saya sendiri termasuk yang terkaget-kaget dengan paparan data tersebut,” katanya.
Kus mencontohkan di beberapa daerah di Jawa Barat angka kematian ibu hamil dan melahirkan sangat tinggi. Ternyata setelah diteliti ternyata masalahnya adalah pemahaman arti agama yang sempit. “Dikatakan bahwa meninggal karena melahirkan adalah mati syahid. Padahal ternyata 40 persen dari kematian ibu akibat melahirkan sebenarnya bisa dihindari,” kata wanita yang meraih gelar Ph.D dari Swinburne University, Melbourne, Australia tanpa melalui jenjang Master dalam bidang pergerakan buruh. “Saya rasa ini adalah anugerah Tuhan, saya diberi kemudahan meraih gelar Doktoral. Mungkin karena pihak promotor telah cukup banyak membaca tulisan saya,” katanya.
Tapi ternyata perubahan perilaku masyarakat Kus tak hanya mendapat dari masyarakat tapi tokoh agama. “Saya sadar bahwa mengubah budaya tak semudah membalik telapak tangan. Tapi saya optimistis. Perubahan bukan tidak mungkin terjadi,” katanya. Di beberapa daerah Kus malah berhasil menggunakan forum dialog antara tokoh agama dan masyarakat untuk mendiskusikan tentang kesehatan ibu hamil dan melahirkan ini.
Untungnya Kus punya latar belakang yang cukup kuat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan para tokoh agama, sebagai mantan aktivis di PP Aisiyah, organisasi wanita di Muhammadiyah. “Pada dasarnya saya sangat percaya bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Saya hanya ingin ikut menyebarkan nikmat Allah. Awalnya saya pernah melakukan dengan bentuk kredit usaha untuk perempuan. Tapi ternyata saya melihat bahwa memberikan kredit usaha tanpa memperbaiki hak-hak perempuan sama saja dengan memberikan double burden pada perempuan,” katanya tentang segala kegiatannya.
“Saya ingin agar setiap perempuan bebas berekspresi tentang apa yang diinginkannya. Ini mesti didukung juga dengan pengetahuan yang cukup,” kata Kus. Ia sempat terkejut ketika melakukan pendidikan publik di satu daerah dan melihat kenyataan bahwa para perempuan di daerah itu tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang organ reproduksinya sendiri. “Lho, saya bilang bagaimana mau menjaga kesehatan kalau saat diperlihatkan gambar saja sudah tutup mata. Bagaimana mau menjaga kesehatan kalau bentuk organ sendiri tidak dipahami. Padahal untuk wanita menjaga kebersihan organ pribadi juga tercantum dalam hadis Rasulullah,” katanya.
Langsung turun ke lapangan untuk berhadapan dengan publik programnya memang menjadi gaya kerja Kus. “Pertama karena saya memang bukan orang belakang meja.,” katanya. Selain itu ia merasa turun ke lapangan memang hal yang mesti dilakukannya. Kus menilai semakin banyaknya organisasi yang berperspektif gender adalah hal yang sangat baik.
“Tapi saya berharap ada banyak gerakan seperti ini yang juga mau bekerja di level grassroot. Dari segi kuantitas cukup bagus, sudah banyak berkembang. Tapi banyak juga yang kurang telaten bicara pada level bawah. Memang lebih sulit, tapi justru masyarakat kalangan ini belum banyak terjangkau,” kata wanita yang juga mengajar di Pusat Kajian Perempuan di Universitas Indonesia ini
Menjadikan masyarakat sadar akan kesetaraan gender bukan satu-satunya keinginan Kus. “Saya punya obsesi ingin menuliskan pengalaman saya ini dalam satu buku, tentang hal-hal teknis, seperti proses perubahan masyarakat partisipatif. Juga hak-hak perempuan misalnya saja tentang sejarah reproduksi,” katanya. Ia mencontohkan masalah pembalut wanita. Dulu pembalut wanita dibuat dari kain, dan kini dari pembalut yang mengandung zat kimia atau berasal dari serat sintetis yang belum tentu sehat untuk wanita. “Sebenarnya wanita punya hak untuk tahu masalah ini. Di Amerika para wanita mulai peduli pada masalah pembalut ini malah kembali menggunakan pembalut buatan. Selain alasan kesehatan, juga pertimbangan kelestarian lingkungan,” katanya
Sebagai mantan konsultan gender untuk International Labour Organization (ILO), Kus punya banyak pengalaman tentang pendidikan kesetaraan gender. “Banyak orang yang masih apriori tentang kesetaraan gender. Tapi ketika saya memberi pelatihan tentang gender mainsteaming di beberapa perusahaan, ternyata banyak pria yang berkomentar ‘oh perspektif gender itu gender seperti itu, kalau begitu saya mau’, “ kata wanita yang tidak mengaku memulai pendidikan kesetaraan gender dari rumahnya ini. “Di rumah saya anak laki-laki pun mesti bisa memasak dan membersihkan rumah. Tidak ada pekerjaan perempuan dan laki-laki. Yang ada hanyalah pekerjaan rumah tangga,” katanya tersenyum. (utami widowati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar