ogyakarta
punya arti penting untuk Sri Kusyuniati Ph.D. Bagi wanita yang kini
menjabat sebagai Behavioral Change Intervention Manager (BCI Manajer) di
Maternal and Neonatal Health (MNH) ini Yogyakarta merupakan tempat yang
paling pantas dijadikan percontohan bagaimana semestinya memperlakukan
ibu yang hamil dan baru melahirkan.
“Pada masyarakat Yogya, 97
persen dari setiap 100 ribu kelahiran hidup terselamatkan. Karena
masyarakat Yogya punya budaya yang mengutamakan kesehatan ibu hamil
sampai 40 hari setelah melahirkan. Misalnya mengutamakan memberikan
makanan untuk ibu hamil dan melarang bekerja keras. Mereka biasa
membuatkan makanan untuk tetangga yang sedang hamil, demi anak yang
dikandungnya,” kata Mbak Kus, panggilan akrab Sri Kusyuniati.
“Sebagian besar orang Yogya
juga percaya bisa membantu mengantar ibu yang hendak melahirkan dianggap
membawa rezeki. Jadi jangan heran kalau tukang becak pun bersedia tak
dibayar dan berebut kalau diminta mengantar ibu yang hendak melahirkan,”
katanya .
Perilaku masyarakat,
khususnya yang berhubungan langsung dengan perlakuan terhadap ibu hamil
dan yang baru melahirkan memang menjadi perhatian khusus Kus. Ini karena
dialah yang bertanggung jawab penuh dalam program-program pengubahan
perilaku masyarakat di MNH. MNH sebuah program kerja sama antara
Departemen Kesehatan, Kementerian Perberdayaan Perempuan, BKKBN, dan
USAID, untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan melahirkan.
Dalam perjalanannya
menyelidiki, merancang program dan melaksanakannya, Kus seringkali
melihat bahwa kematian ibu hamil dan karena melahirkan seringkali
disebabkan oleh masalah yang sangat sederhana. “Kadang alasan kematian
akibat masalah non medis yang sebenarnya bisa dihindari seperti
terlambat mendapat pertolongan saat terjadi pendarahan, tidak ada donor
darah, pemeriksaan kehamilan yang tak teratur, pola makan kurang bergizi
dan masalah pengambilan keputusan dalam rumah tangga,” kata Kus.
Di Indonesia Angka Kematian
Ibu (AKI) yang disebabkan proses persalinan memang tergolong tinggi.
Berdasarkan data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan pada
1995 diperkirakan terjadi 373 kasus kematian ibu dari setiap 100 ribu
kelahiran hidup. Ini berarti AKI di Indonesia 3-6 kali lebih tinggi
dibanding negara-negara ASEAN dan 80 kali lebih tinggi dibanding
negara-negara maju.
Indonesia masih menjadi salah
satu negara dengan angka kematian ibu saat melahirkan tertinggi di
dunia. Masalahnya menjadi sangat pelik ketika aspek sosial, kultural dan
ketidakadilan gender semakin membebani aspek kesehatan yang mestinya
menjadi perhatian utama pada ibu yang hamil hingga masa melahirkan.
“Maka kami melakukan pendekatan secara personal, kultural, sosial dan
pendidikan, budaya dalam usaha mengubah perilaku masyarakat,” kata Kus
yang mulai bergabung dengan MNH sekitar 5 bulan lalu.
Masalah kepedulian kepada
masyarakat memang bukan hal baru untuk Kus. Sejak masih duduk di bangku
kuliah di IKIP Yogyakarta di tahun 1983, Kus telah akrab dengan dunia
lembaga swadaya masyarakat yang langsung mengurusi masalah kesetaraan
gender dalam masyarakat. Pada 1980-1993 Kus sempat menjabat sebagai
Direktur Eksekutif Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) salah satu organisasi
wanita yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan khususnya kaum
buruh. “Waktu itu memang organisasi yang berbasis perempuan tidak
sebanyak sekarang, kami sempat dicap macam-macam. Karena saat itu isu
perempuan memang baru bergaung di tataran keluarga,” kenangnya.
Lalu berbekal keberanian yang
sama, Kus bersama beberapa orang temannya kemudian membentuk Rifka
Annisa Women’s Crisis Center pada 1997. Ini adalah pusat krisis wanita
pertama di Indonesia. “Itu saat banyak orang bertanya apa itu kekerasan
terhadap perempuan,” katanya. Kus merasa sempat juga dicibir.
“Sebenarnya masalah kekerasan terhadap perempuan ini kan macam gunung
es. Di Malaysia saja yang aman damai ternyata angka kekerasan terhadap
perempuannya luar biasa. Pada 1998 menjadi puncak kekerasan terhadap di
Indonesia terbongkar dengan kasus perkosaan masal yang terjadi bersamaan
dengan kerusuhan massal,” kata wanita kelahiran Yogyakarta 20, Juni
1958 ini.
Berangkat dari pengalamannya
menangani dan mendampingi para perempuan korban kekerasan inilah Kus
menemukan satu fakta baru tentang kekerasan terhadap perempuan.
“Membiarkan ibu meninggal karena kehamilan dan melahirkan adalah isu hak
asasi manusia juga,” kata ibu dua orang anak ini. Betapa tidak, karena
berdasarkan data yang dihimpunnya di Indonesia terjadi 22 ribu kematian
perempuan per tahunnya, 85 persen dari akibat kematian tersebut
sebenarnya bisa dihindari. “Saya sendiri termasuk yang terkaget-kaget
dengan paparan data tersebut,” katanya.
Kus mencontohkan di beberapa
daerah di Jawa Barat angka kematian ibu hamil dan melahirkan sangat
tinggi. Ternyata setelah diteliti ternyata masalahnya adalah pemahaman
arti agama yang sempit. “Dikatakan bahwa meninggal karena melahirkan
adalah mati syahid. Padahal ternyata 40 persen dari kematian ibu akibat
melahirkan sebenarnya bisa dihindari,” kata wanita yang meraih gelar
Ph.D dari Swinburne University, Melbourne, Australia tanpa melalui
jenjang Master dalam bidang pergerakan buruh. “Saya rasa ini adalah
anugerah Tuhan, saya diberi kemudahan meraih gelar Doktoral. Mungkin
karena pihak promotor telah cukup banyak membaca tulisan saya,” katanya.
Tapi ternyata perubahan
perilaku masyarakat Kus tak hanya mendapat dari masyarakat tapi tokoh
agama. “Saya sadar bahwa mengubah budaya tak semudah membalik telapak
tangan. Tapi saya optimistis. Perubahan bukan tidak mungkin terjadi,”
katanya. Di beberapa daerah Kus malah berhasil menggunakan forum dialog
antara tokoh agama dan masyarakat untuk mendiskusikan tentang kesehatan
ibu hamil dan melahirkan ini.
Untungnya Kus punya latar
belakang yang cukup kuat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan
para tokoh agama, sebagai mantan aktivis di PP Aisiyah, organisasi
wanita di Muhammadiyah. “Pada dasarnya saya sangat percaya bahwa Islam
itu rahmatan lil alamin. Saya hanya ingin ikut menyebarkan nikmat Allah.
Awalnya saya pernah melakukan dengan bentuk kredit usaha untuk
perempuan. Tapi ternyata saya melihat bahwa memberikan kredit usaha
tanpa memperbaiki hak-hak perempuan sama saja dengan memberikan double burden pada perempuan,” katanya tentang segala kegiatannya.
“Saya ingin agar setiap
perempuan bebas berekspresi tentang apa yang diinginkannya. Ini mesti
didukung juga dengan pengetahuan yang cukup,” kata Kus. Ia sempat
terkejut ketika melakukan pendidikan publik di satu daerah dan melihat
kenyataan bahwa para perempuan di daerah itu tidak memiliki pengetahuan
yang memadai tentang organ reproduksinya sendiri. “Lho, saya bilang
bagaimana mau menjaga kesehatan kalau saat diperlihatkan gambar saja
sudah tutup mata. Bagaimana mau menjaga kesehatan kalau bentuk organ
sendiri tidak dipahami. Padahal untuk wanita menjaga kebersihan organ
pribadi juga tercantum dalam hadis Rasulullah,” katanya.
Langsung turun ke lapangan
untuk berhadapan dengan publik programnya memang menjadi gaya kerja Kus.
“Pertama karena saya memang bukan orang belakang meja.,” katanya.
Selain itu ia merasa turun ke lapangan memang hal yang mesti
dilakukannya. Kus menilai semakin banyaknya organisasi yang
berperspektif gender adalah hal yang sangat baik.
“Tapi saya berharap ada banyak gerakan seperti ini yang juga mau bekerja di level grassroot.
Dari segi kuantitas cukup bagus, sudah banyak berkembang. Tapi banyak
juga yang kurang telaten bicara pada level bawah. Memang lebih sulit,
tapi justru masyarakat kalangan ini belum banyak terjangkau,” kata
wanita yang juga mengajar di Pusat Kajian Perempuan di Universitas
Indonesia ini
Menjadikan masyarakat sadar
akan kesetaraan gender bukan satu-satunya keinginan Kus. “Saya punya
obsesi ingin menuliskan pengalaman saya ini dalam satu buku, tentang
hal-hal teknis, seperti proses perubahan masyarakat partisipatif. Juga
hak-hak perempuan misalnya saja tentang sejarah reproduksi,” katanya. Ia
mencontohkan masalah pembalut wanita. Dulu pembalut wanita dibuat dari
kain, dan kini dari pembalut yang mengandung zat kimia atau berasal dari
serat sintetis yang belum tentu sehat untuk wanita. “Sebenarnya wanita
punya hak untuk tahu masalah ini. Di Amerika para wanita mulai peduli
pada masalah pembalut ini malah kembali menggunakan pembalut buatan.
Selain alasan kesehatan, juga pertimbangan kelestarian lingkungan,”
katanya
Sebagai mantan konsultan
gender untuk International Labour Organization (ILO), Kus punya banyak
pengalaman tentang pendidikan kesetaraan gender. “Banyak orang yang
masih apriori tentang kesetaraan gender. Tapi ketika saya memberi
pelatihan tentang gender mainsteaming di beberapa perusahaan,
ternyata banyak pria yang berkomentar ‘oh perspektif gender itu gender
seperti itu, kalau begitu saya mau’, “ kata wanita yang tidak mengaku
memulai pendidikan kesetaraan gender dari rumahnya ini. “Di rumah saya
anak laki-laki pun mesti bisa memasak dan membersihkan rumah. Tidak ada
pekerjaan perempuan dan laki-laki. Yang ada hanyalah pekerjaan rumah
tangga,” katanya tersenyum. (utami widowati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar