Selasa, 24 Januari 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat dunia industri berlomba-lomba melakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas dengan menggunakan alat-alat produksi yang semakin komplek. Semakin kompleknya peralatan kerja yang digunakan, maka semakin besar pula potensi bahaya kecelakaan kerja yang ditimbulkan apabila tidak dilakukan  penanganan dan pengendalian sebaik mungkin. Penggunaan peralatan kerja sering tidak diikuti dengan penyediaan tenaga kerja yang berkualitas untuk mengoperasikannya dapat berakibat peralatan tersebut tidak termanfaatkan secara optimal dan benar. Akibat yang lebih fatal adalah timbulnya kecelakaan kerja baik operator peralatan itu sendiri maupun masyarakat di sekitar perusahaan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) akan menciptakan terwujudnya pemeliharaan tenaga kerja yang baik. Keselamatan dan kesehatan kerja ini ditanamkan pada diri masing-masing individu karyawan dengan cara penyuluhan dan pembinaan yang baik agar mereka menyadari arti penting keselamatan kerja bagi dirinya maupun untuk perusahaan. Apabila banyak terjadi kecelakaan, maka tenaga kerja banyak yang menderita, angka absensi di perusahaan meningkat, hasil produksi menurun, dan biaya pengobatan semakin membesar. Ini semua akan menimbulkan kerugian bagi tenaga kerja maupun perusahaan yang bersangkutan, karena mungkin tenaga kerja terpaksa berhenti bekerja sebab sakit sementara atau cacat tetap yang diakibatkan oleh proses kerja yang tidak aman atau peralatan kerja yang salah dalam pengoperasiannya.
Karena pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja para tenaga kerja, maka untuk mengantisipasi dan mengurangi angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja juga melindungi tenaga kerja, maka pada tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Pasal 3 Peraturan Menteri ini menjelaskan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih dan/atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja, wajib menerapkan SMK3. SMK3 tersebut dilaksanakan oleh Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan. Kewajiban mengenai penerapan Sistem Manajemen K3 oleh setiap perusahaan ini ditegaskan kembali dalam Pasal 87 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: setiap perusahaan wajib menerapkan sitem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Akhir-akhir ini kita melihat banyak perusahaan telah mendapatkan sertifikasi OHSAS 18001, SMK3 dan ISO 14001. Ini merupakan fenomena yang baik dimana banyak perusahaan sudah memiliki komitmen untuk peningkatan kinerja dibidang K3 dan lingkungan hidup dengan pendekatan sistem dan proses yang terstruktur. Hanya saja sangat disayangkan kalau dalam proses mendapatkan sertifikasi tersebut perusahaan mengembangkan sistem manajemennya dengan cara yanng terpisah-pisah antara sistem manajemen K3 dan lingkungan hidup sehingga terjadi proses dan prosedur yang saling tumpang tindih yang berdampak pada penggunaan sumberdaya yang tidak efisien dan efektif.

                                           BAB II
                                          PEMBAHASAN 

II.1. Definisi SMK3
Secara normatif sebagaimana terdapat pada PER.05/MEN/1996 pasal 1, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggungjaeab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan Keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
II.2. Tujuan dan Sasaran SMK3
Tujuan dan sasaran sistem Manajemen K3 adalah terciptanya sistem K3 di tempat kerja yang melibatkan segala pihak sehingga dapat mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Secara Spesific tujuan SMK3 yaitu:
  1. Menempatkan tenaga kerja sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia
2.      Meningkatkan komitmen pimpinan dalam melindungi tenaga kerja
3.      Meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja untuk menghadapi globalisasi
4.      Proteksi terhadap industri dalam negeri
5.      Meningkatkan daya saing dalam perdagangan internasional
6.      Mengeliminir boikot LSM internasional terhadap produk ekspor nasional
7.      Meningkatkan pencegahan kecelakaan melalui pendekatan sistem
8.      Pencegahan terhadap problem sosial dan ekonomi terkait dengan penerapan K3L
II.3. Alasan Penerapan SMK3, Aturan Hukum, dan Ketentuan Pokok
Karena SMK3 bukan hanya tuntutan pemerintah, masyarakat, pasar, atau dunia internasional saja tetapi juga tanggung jawab pengusaha untuk menyediakan tempat kerja yang aman bagi pekerjanya. Selain itu penerapan SMK3 juga mempunyai banyak manfaat bagi industri kita antara lain :
Manfaat Langsung :
  1. Mengurangi jam kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja.
  2. Menghindari kerugian material dan jiwa akibat kecelakaan kerja.
  3. Menciptakan tempat kerja yang efisien dan produktif karena tenaga kerja merasa
aman dalam bekerja.
Manfaat tidak langsung :
1.      Meningkatkan image market terhadap perusahaan.
2.      Menciptakan hubungan yang harmonis bagi karyawan dan perusahaan.
3.      Perawatan terhadap mesin dan peralatan semakin baik, sehingga membuat umur alat semakin lama.
SMK3 diatur dalam Permenaker No.05/MEN/1996 tentang SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA dengan tujuan :
1.      Menempatkan tenaga kerja sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
2.      Meningkatkan komitmen pimpinan dalam melindungi tenaga kerja.
3.      Meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja untuk menghadapi globalisasi.
4.      Proteksi terhadap industri dalam negeri.
5.      Meningkatkan daya saing dalam perdagangan internasional.
6.      Mengeliminir boikot LSM internasional terhadap produk ekspor nasional.
7.      Meningkatkan pencegahan kecelakaan melalui pendekatan system.
8.      Pencegahan terhadap problem sosial dan ekonomi terkait dengan penerapan K3.
Agar sistem manajemen keselamatan dan kesehatan efektif maka harus :
1.      Memastikan tanggung jawab keselamatan dan kesehatan yang diidentifikasikan dan diintegrasikan dalam pembuatan undang-undang keselamatan dan kesehatan.
2.      Memiliki para manejer senior yang mengambil peran aktif dalam keselamatan dan kesehatan.
3.      Mendorong keterlibatan para pengawas dalam keselamatan dan kesehatan.
4.      Memiliki perwakilan keselamatan dan kesehatan yang terlibat secara aktif dan luas dalam kegiatan sistem manejemen keselamatan dan kesehatan.
5.      Memiliki komite keselamatan dan kesehatan yang efektif.
6.      Memiliki pendekatan terhadap penilaian resiko dan identifikasi bahaya yang direncanakan. Memberikan perhatian yang konsisten terhadap pengawasan bahaya disumbernya. Memiliki pendekatan yang menyeluruh terhadap pengawasan dan penyelidikan insiden tempat kerja.
7.      Telah membangun sistem-sistem pembelian.
Untuk menerapkan sistem manajemen K3, perusahaan diwajibkan melaksanakan 5 ketentuan pokok yaitu:
1. Menetapkan kebijakan K3 dan menjamin komitmen terhadap penerapan sistem manajemen K3 :
a. Adanya kebijakan K3
b. Adanya komitmen dari pucuk pimpinan terhadap K3
c. Adanya tinjauan awal kondisi K3
2. Merencanakan pemantauan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapansistem manajemen K3 :
a. Adanya perencanaan tentang identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko
b.   Adanya pemahaman terhadap peraturan perundangan
c.   Adanya penetapan tujuan dan sasaran kebijakan
d.   Adanya indikator kinerja K3 yang dapat diukur
e. Adanya perencanaan awal dan perencanaan kegiatan yang sedang berlangsung
3. Menerapkan kebijakan K3 secara efektif :
a.   Adanya jaminan kemampuan
b. Adanya kegiatan pendukung (komunikasi antar manajemen, pelaporan, pendokumentasian, pencatatan)
c.    Adanya manajemen resiko dan manajemen tanggap darurat
4. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja K3 serta melakukan tindakan perbaikan
a. Adanya inspeksi, pengujian dan pemantauan
b. Adanya audit SMK3 secara berkala
c. Tindakan pencegahan dan perbaikan
5. Meninjau ulang secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan sistem manajemen K3 secara berkesinambungan :
a. Evaluasi penerapan kebijakan K3
b. Tujuan, sasaran dan kinerja K3
c. Hasil temuan audit SMK3
d. Evaluasi efektif penerapan SMK3
II.4. Langkah-Langkah Pengembangan SMK3 (Prinsip SMK3)
Langkah-langkah dalam mengembangkan Sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Peraturan Perundang-undangan dan Standar
Sebelum implementasi harus diidentifikasi semua peraturan perundang-undangan dan standar K3 yang berlaku dalam perusahaan yang bersangkutan. Sebaiknya dibentuk tim untuk mendokumentasikan peraturan perundang-undangan dan standar dibidang K3. Dari hasil identifikasi ini kemudian disusun Peraturan K3 perusahaan dan Pedoman pelaksanaan K3. Praktek pada banyak perusahaan, peraturan keselamatan dan kesehatan kerja dicetak dalam bentuk buku saku yang selalu dibawa oleh tenaga kerja, agar setiap pekerja memahami peraturan tersebut harus menjelaskan peraturan perundangan dan persyaratan lainnya kepada setiap tenaga kerja.
2.  Menetapkan Kebijakan K3 Perusahaan yaitu pernyataan mengenai komitmen dari organisasi untuk melaksanakan K3 yang menegaskan keterikatan perusahaan terhadap pelaksanaan K3 dengan melaksanakan semua ketentuan K3 yang berlaku sesuai dengan operasi perusahaan, melindungi keselamatan dan kesehatan semua pekerja termasuk kontraktor dan stacholder lainnya seperti pelanggan dan pemasok.
3.  Mengorganisasikan, untuk melaksanakan kebijakan K3 secara efektif dengan peran serta semua tingkatan manajemen dan pekerja. Bagaiana Top Manajemen menempatkan organisasi K3 diperusahaan serta dukungan yang diberikan merupakan pencerminan dari komitmen terhadap K3.
4. Merencanakan SMK3
Perusahaan harus membuat perencanaan yang efektif guna mencapai keberhasilan penerapan dan kegiatan Sistem Mana-jemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
5. Penerapan SMK3
Perusahaan harus menyediakan personil yang memiliki kualifikasi, sarana yang memadai sesuai sistem Manajemen K3 yang diterapkan dengan membuat prosedur yang dapat memantau manfaat yang akan didapat maupun biaya yang harus dikeluarkan.
a.       Jaminan kemampuan, meliputi: SDM, sarana dan dana,  integrasi,  tanggung jawab dan tanggung gugat , konsultansi, motivasi dan kesadaran, pelatihan dan kompetensi kerja
b.      Kegiatan pendukung, meliputi: komunikasi, pelaporan, pendokumentasian, pengendalian dokumen, pencatatan dan manajemen informasi
c.       Identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko yang meliputi: manajemen resiko, perencanaan (design) dan rekayasa, pengendalian administrative,  tinjauan kontrak, pembelian, prosedur menghadapi keadaan darurat atau bencana, prosedur menghadapi insiden, prosedur rencana pemulihan keadaan darurat 
6. Mengukur dan memantau hasil pelaksanaan, dengan menggunakan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Ada dua macam ukuran yang dapat digunakan yaitu ukuran yang bersifat reaktif yang didasarkan pada kejadian kecelakaan dan ukuran yang bersifat proaktif, karena didasarkan kepada upaya dari keseluruhan sistem.
7. Melakukan audit dan meninjau ulang secara menyeluruh.
Dengan melaksana-kan audit K3, manajemen dapat me-meriksa sejauh mana organisasi telah melaksanakan komitmen yang telah disepakati bersama, mendeteksi berbagai kelemahan yang masih ada, yang mungkin terletak pada perumusan komitmen dan kebijakan K3, atau pada pengorganisasian, atau pada perencanaan dan pelaksanaannya.
Secara formal ketentuan-ketentuan pokok tentang penerapan SMK3 harus dapat dibuktikan secara nyata melalui pencapaian sertifikasi audit. Elemen-elemen dan kriteria-kriteria di dalam petunjuk teknis audit SMK3 merupakan sarana atau alat audit yang dirancang untuk membantu perusahaan dalam meningkatkan kinerja manajemen K3. Berikut adalah elemen-elemen yang ada dalam Permenaker No. 05 th 1996 :
Elemen Verifikasi kinerja Catatan Auditor
1.      Elemen 1
            Komitmen Pembangunan dan Pemeliharaan Dokumen kebijakan, penunjukan penanggung jawab K3, kualifikasi staf K3, penugasan pengurus perusahaan kepada regu tanggap darurat, hasil review penerapan SMK3, prosedur penjadwalan konsultasi dll.
2.      Elemen 2
            Strategi pendokumentasian Prosedur, laporan, informasi yang terdokumentasi
3.      Elemen 3
            Peninjauan ulang desain dan kontrak Dokumen desain dan kontrak
4.      Elemen 4
      Pengendalian dokumen Tersedianya dokumen yang terkendali
5.      Elemen 5
            Pembelian Prosedur pembelian yang terdokumentasi
6.      Elemen 6
            Keamanan bekerja berdasarkan SMK3 Check list identifikasi sumber bahaya
7.      Elemen 7
            Standar pemantauan Prosedur inspeksi yang terdokumentasi
8.      Elemen 8
            Pelaporan dan perbaikan Prosedur yang terdokumentasi untuk pelaporan sumber bahaya
9.      Elemen 9
            Pengelolaan material dan perpindahannya Prosedur identifikasi dan penilaian resiko dari pengelolaan material
10.  Elemen 10
            Pengumpulan dan Penggunaan Data Prosedur pencatatan, formulir pencatatan terdokumentasi dengan baik
11.  Elemen 11
            Pemeriksaan sistem manajemen Dokumen audit internal
12.  Elemen 12
            Pengembangan ketrampilan dan kemampuan Daftar hadir training K3untuk eksekutif dan senior manajemen
II.5. Implementasi SMK3
Banyak perusahaan yang mengembangkan sistem manajemen K3 sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Berikut adalah jenis-jenis sistem manajemen K3 :
    1. • SMK3 – Permenaker 05 Th 1996
    2. • ILO OSHA
    3. • OSHA Guide Line
    4. • Process Safety Management
    5. • NOSA
    6. • Five Star (British Safety Council)
    7. • International Safety Rating System (ILCI-DNV)
    8. • International Safety Management System (ISM)
    9. • OHSAS 18001
    10. • BS 8800 (UK) dll
Implementasi SMK3-Permenaker 05 Th 1996. Di dalam pasal 87 (1): UU No.13 Th 2003 Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menetapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Pada pasal 3 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan sistem manajemen K3. Dengan demikian kewajiban penerapan SMK3 didasarkan pada dua hal yaitu ukuran besarnya perusahaan dan tingkat potensi bahaya yang ditimbulkan.
II.6. Sistem Manajemen Resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
 1. Pengertian
  1. Manajemen adalah  suatu proses kegiatan yang terdiri atas perencanaan,  pengorganisasi, pelaksanaan, pengukuran dan tindak lanjut yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya yang ada.
  2. Sistem Manajemen adalah kegiatan manajemen yang teratur dan saling berhubungan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
  3. Resiko adalah kesempatan untuk terjadinya cedera/kerugian dari suatu bahaya, atau kombinasi dari kemungkinan dan akibat risiko.
Jadi Manajemen Risiko adalah penerapan secara sistematis dari kebijakan manajemen, prosedur dan akitivitas dalam kegiatan identifikasi bahaya, analisa, penilaian, penanganan dan pemantauan serta review risiko.
Kecelakaan : suatu kejadian yang tidak diinginkan, tidak terduga yang dapat menimbulkan kerugian materil, disfungsi atau kerusakan alat/baha, cidera, korban jiwa atau kekacauan produksi.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) : upaya untuk  memelihara keutuhan dan kesempurnaan jasmani & rohani tenaga kerja, hasil karya dan budayanya untuk meningkatkan kesejahteraan (kualitas hidup) tenaga kerja dan masyarakat. Sedangkan secara keilmuan, K3 diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Sistem Manajemen resiko  merupakan bagian dari sistem manajamen secara keseluruhan yang dibutuhkan bagi : Pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan  pemeliharaan kebijakan K3.  Dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja. Guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
2.Faktor-faktor yg mempengaruhi Kesehatan Tenaga Kerja
a)      Beban kerja  (Fisik dan Mental)                      
b)      Lingkungan kerja ( Fisik, Kimia, Biologi, Ergonomi, Psikologi )
Bahaya di lingkungan kerja dapat didefinisikan sebagai segala kondisi yang dapat memberi pengaruh yang merugikan terhadap kesehatan atau kesejahteraan orang yang terlibat atau terkait didalamnya. Kecelakaan tidak harus selalu ada korban manusia atau kekacauan , yang jelas kejadian tersebut telah berdampak menimbulkan kerugian.
3. Kecelakaan yang terjadi pasti ada faktor penyebabnya, diantaranya :
a)      Unsafe condition
b)      Unsafe action
Pendapat berbagai ahli K3 yang cukup radikal, 2 (dua) factor diatas merupakan gejala akibat buruknya penerapan dan kurangnya komitmen manajemen terhadap K3 itu sendiri.
Beberapa contoh UNSAFE CONDITION
1)      Peralatan kerja yang sudah usang (tidak laik pakai).
2)      Tempat kerja yang acak-acakan.
3)      Peralatan kerja yang tidak ergonomis.
4)      Roda berputar mesin yang tidak dipasang pelindung (penutup).
5)      Tempat kerja yang terdapat Bahan Kimia Berbahaya yang tidak dilengkapi sarana pengamanan (labeling, rambu) dll.
 Beberapa contoh UNSAFE ACTION :
1)      Karyawan bekerja tanpa memakai Alat Pelindung Diri
2)      Pekerja yang mengabaikan Peraturan K3.
3)      Merokok di daerah Larangan merokok.
4)      Bersendau gurau pada saat bekerja, dll.
 4. Pencegahan Kecelakaan dapat dilakukan dengan KONSEP 4-E :
a)      EDUCATION
Tenaga kerja harus mendapatkan bekal pendidikan & Pelatihan dalam usaha pencegahan kecelakaan. Pelatihan K3 harus diberikan secara berjenjang dan berkesinambungan sesuai tugas dan tanggung jawabnya.
b)       ENGINEERING  
Rekayasa dan Riset dalam bidang teknologi dan keteknikan dapat dilakukan untuk mencegah suatu kecelakaan.
c)      ENFORCEMENT
Penegakan Peraturan K3 dan pembinaan berupa pemberian sanksi harus dilaksanakan secara tegas terhadap pelanggar peraturan K3. Penerapannya harus konsisten dan konsekwen.
d)      EMERGENCY RESPONS
Setiap karyawan atau orang lain yang memasuki tempat kerja yang memiliki potensi bahaya besar harus memahami langkah–langkah penyelamatan bila terjadi keadaan darurat.
5. Sistem Manajemen Resiko K3 di Indonesia :
            Betapa perlunya penerapan SMK3 juga semakin nyata karena adanya perubahan tuntutan customer satisfaction (kepuasan pelanggan) dari negara-negara importir, yang mempersyaratkan pelaksanaan SMK3 oleh negara pengekspor.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dr. Ir. Erman Suparno, MBA, Msi. menegaskan, penerapan  K3 pada dasarnya menjadi perhatian pemerintah. Sebab dengan menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, maka tentu dampaknya pada peningkatan kualitas dan produktivitas kerja, sekaligus akan tercipta suatu hubungan industrial yang sehat, harmonis, inovatif dan kreatif pada masing-masing perusahaan.
            Berkenaan dengan itu, maka berdasarkan pasal 87 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Indonesia telah mengembangkan SMK3. Dalam hal ini pemerintah sangat mengharapkan dan terus mendorong agar setiap perusahaan benar-benar menerapkan SMK3 yang terintegrasi dalam sistem manajemen perusahaan bersangkutan. Untuk itu, pemerintah juga melaksanakan gerakan memasyarakatkan K3 melalui kampanye, seminar, pemberian penghargaan bagi perusahaan yang mencapai zero accident dan lain-lain.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah     Indonesia merdeka menimbulkan konsekwensi meningkatnya intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja. Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya. Sejalan dengan perkembangan pembangunan yang dilaksanakan maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.12 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama.
Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia K3 serta sarana yang ada. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk memberdayakan lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan kerjasama dengan mitra sosial guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar berjalan dengan baik.
 Tujuan dan sasaran yang termuat dalam SMK3 ini adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Sayangnya, masih sedikit perusahaan di Indonesia yang berkomitmen untuk melaksanakan pedoman SMK3 dalam lingkungan kerjanya. Menurut catatan SPSI, baru sekitar 45% dari total jumlah perusahaan di Indonesia (data Depnaker tahun 2002, perusahaan di bawah pengawasannya sebanyak 176.713) yang memuat komitmen K3 dalam perjanjian kerja bersama-nya. Jika perusahaan sadar, komitmennya dalam melaksanakan kebijakan K3 sebenarnya dapat membantu mengurangi angka kecelakaan kerja di lingkungan kerja. Dengan sadar dan berkomitmen, perusahaan akan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan kondisi kerja yang aman dan sehat. Komitmen perusahaan yang rendah ini diperburuk lagi dengan masih rendahnya kualitas SDM di Indonesia yang turut memberikan point dalam kejadian kecelakaan kerja, data dari Badan Pusat Statistik tahun 2003 menunjukkan bahwa hanya 2.7% angkatan kerja di Indonesia yang mempunyai latar belakang pendidikan perguruan tinggi dan 54.6% angkatan kerja hanya tamatan SD.
6. SMK3 Internasional
            OHSAS–Occupational Health and Safety Assesment Series-18001 merupakan standar internasional untuk penerapan SMK3. Tujuan dari OHSAS ini sendiri tidak jauh berbeda dengan tujuan SMK3 Permenaker, yaitu meningkatkan kondisi kesehatan kerja dan mencegah terjadinya potensi kecelakaan kerja dan mencegah terjadinya potensi kecelakaan kerja karena kondisi K3 tidak saja menimbulkan kerugian secara ekonomis tetapi juga kerugian non ekonomis seperti menjadi buruknya citra perusahaan.
Cikal bakal OHSAS 18001 adalah dokumen yang dikeluarkan oleh British Standards Institute (BSI) yaitu Occupational Health and Safety Management Sistem-Specification (OHSAS) 18001:1999. OHSAS 18001 diterbitkan oleh BSI dengan tim penyusun dari 12 lembaga standarisasi maupun sertifikasi beberapa negara di dunia seperti, Standards Australia, SFS Certification dan International Certification Services. Standar OHSAS mengandung beberapa komponen utama yang harus dipenuhi oleh perusahaan dalam penerapan SMK3 demi pelaksanaan K3 yang berkesinambungan yaitu :
    1. Adanya komitmen perusahaan tentang K3.
    2. Adanya perencanaan tentang program-program K3.
    3. Operasi dan Implementasi K3.
    4. Pemeriksaan dan tindakan koreksi terhadap pelaksanaan K3 di perusahaan.
    5. Pengkajian manajemen perusahaan tentang kebijakan K3 untuk pelaksanaan berkesinambungan.
 Seiring dengan upaya pelaksanaan OHSAS dalam perusahaan, muncullah suatu konsep baru sebagai akibat praktek OHSAS 18001 dalam manajemen perusahaan. Konsep baru tersebut dikenal dengan nama Green Company.
PT. Wijaya Karya atau WIKA yang merupakan salah satu perusahaan BUMN yang telah menerapkan OHSAS 18001 dalam manajemennya. WIKA adalah sebuah BUMN yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi. Bidang pekerjaan dengan tingkat resiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Januari 2006 WIKA mendapatkan penghargaan Zero Accident dari Depnaker dan Bendera Emas dari PT. Sucofindo sebagai perusahaan yang peduli terhadap penerapan SMK3. Bahkan berbagai proyek baru mengalir untuk WIKA salah satunya karena komitmen WIKA ini, sebuah keuntungan yang patut dipertahankan.
BAB III
PENUTUP
III.1  Kesimpulan
Sistem manejemen keselamatan dan kesehatan didefinisikan sebagai kombinasi dari susunan organisasi manejemen, termasuk elemen-elemen perencanaan dan kaji ulang, susunan konsultatif dan program khusus yang terintegrasi untuk meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan.
Agar sistem manajemen keselamatan dan kesehatan efektif maka harus:
Memastikan tanggung jawab keselamatan dan kesehatan yang diidentifikasikan dan diintegrasikan dalam pembuatan undang-undang keselamatan dan kesehatan, Memiliki para manejer senior yang mengambil peran aktif dalam keselamatan dan kesehatan, mendorong keterlibatan para pengawas dalam keselamatan dan kesehatan, memiliki perwakilan keselamatan dan kesehatan yang terlibat secara aktif dan luas dalam kegiatan sistem manejemen keselamatan dan kesehatan., memiliki komite keselamatan dan kesehatan yang efektif, memiliki pendekatan terhadap penilaian resiko dan identifikasi bahaya yang direncanakan,  memberikan perhatian yang konsisten terhadap pengawasan bahaya disumbernya, memiliki pendekatan yang menyeluruh terhadap pengawasan dan penyelidikan insiden tempat kerja,telah membangun sistem-sistem pembelian.
Dengan banyaknya keuntungan dalam penerapan SMK3 serta standarisasi SMK3 di Indonesia yang cukup representatif bukankah saatnya bagi Industri Indonesia untuk melaksanakan SMK3 sesuai PER.05/MEN/1996 baik industri skala kecil, menengah, hingga besar. Sehingga bersama-sama menjadi industri yang kompetitif, aman, dan Efisien dalam menghadapi pasar terbuka.
III.2 Saran
Adapun saran mengenai penerapan SMK3 di tempat kerja yaitu sebagai berikut:
1.      Adanya penerapan “punishment and rewards” yang tegas agar tenaga kerja
merasa diperhatikan dan dihargai terhadap pelaksanaan K3 di perusahaan.
2.      Menanamkan budaya K3 di perusahaan untuk selalu berperilaku selamat
dengan cara pendekatan langsung seperti : Himbauan untuk bekerja dengan
aman dan peduli keselamatan diri sendiri dan orang lain, himbauan tentang
penggunaan APD.
3.      Pendekatan tidak langsung dapat dilakukan dengan cara :
Safety Poster lebih banyak dan slogan motivasi untuk bekerja secara aman.
4.      Agar segera dilakukan tindakan perbaikan jika pada saat inspeksi K3
ditemukan adanya potensi bahaya kecelakaan kerja.
                                                               DAFTAR PUSTAKA
Abipraya.2008. Prinsip-prinsip Implementasi K3. Online: http://safety4abipraya.wordpress.com/2008/03/23/prinsip-prinsip-implementasi-smk3/, diakses 20 Maret 2011
Anonim. 2007. Sistem Manejemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Online: http://estonhasiant.wordpress.com/ba-kul/, diakses 20 Maret 2011
Hidayat, Wahyu.2008. Konsep Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan Implementasinya. Online: http://miningsite.info/konsep-sistem-manajemen-keselamatan-dan-kesehatan-kerja-smk3-serta-implementasinya, diakses 20 Maret 2011.
Suardi, Rudi.2005. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Agrya Putra.

DESAIN PENELITIAN CROSSECTIONAL DAN CASE CONTRO

DESAIN PENELITIAN CROSSECTIONAL DAN CASE CONTROL

A.       Ruang Lingkup Penelitian Cross Sectional

            Studi cross sectional adalah suatu penelitian yang menggunakan rancangan atau desain observasi dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Semua pengukuran variabel (dependen dan indpenden) yang diteliti dilakukan pada waktu yang sama
2.      Tidak ada periode follow-up
3.      Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan prevalensi penyakit tertentu
4.      Pada penelitian ini tidak terdapat kelompok pembanding
5.      Hubungan sebab- akibat hanya merupakan perkiraan saja
6.      Penelitian ini dapat menghasilkan hipotesis
7.      Merupakan penelitian pendahuluan dari penelitian analitis

Cross sectional dapat dilakukan dimana saja sesuai dengan tujuan penelitian dan subjeknya baik komunitas, institusi, klinik, dll.  Cross sectional berguna untuk mendeskripsikan penyakit dan paparan pada populasi pada satu titik waktu  tertentu. Data yang dihasilkan dari studi potong-lintang adalah data prevalensi.  Tetapi  studi  potong-lintang  dapat  juga  digunakan  untuk  meneliti hubungan  paparan-penyakit, meskipun  bukti  yang  dihasilkan  tidak  kuat  untuk menarik  kesimpulan  kausal  antara  paparan  dan  penyakit,  karena  tidak  dengan desain studi ini tidak dapat dipastikan bahwa paparan mendahului penyakit. 
Studi potong  lintang (cross  sectional)  bersifat  non-directional  sebab  hubungan  antara  paparan  dan penyakit  pada  populasi  diteliti  pada  satu waktu  yang  sama.  Cara  studi  potong lintang  meneliti  hubungan  antara  paparan  dan  penyakit: 
1.      Membandingkan prevalensi penyakit pada berbagai subpopulasi yang berbeda status paparannya;
2.      Membandingkan  status  paparan  pada  berbagai  subpopulasi  yang  berbeda status penyakitnya.
Frekuensi penyakit dan paparan pada populasi diukur pada saat  yang  sama, maka  data  yang  diperoleh   merupakan  prevalensi  (kasus  baru dan  lama),  bukan  insidensi  (kasus  baru  saja),  sehingga  studi  potong  lintang disebut juga studi prevalensi, atau survei. Pada studi potong lintang, karena bersifat “non-directional”, peneliti tidak bisa  menghitung  insidensi  (kasus  baru),  yang  menunjukkan  risiko  terjadinya penyakit  dalam  suatu  periode  waktu.  Jadi  pada  studi  potong  lintang,  peneliti tidak  bisa menghitung  risiko  dan  risiko  relatif  (RR). Data  yang  diperoleh  studi potong  lintang  adalah  prevalensi,  terdiri  atas  kasus  baru  dan  lama.  Prevalensi adalah jumlah kasus yang ada di suatu saat dibagi dengan jumlah populasi studi. Jika  prevalensi  penyakit  pada  kelompok  terpapar  dibagi  dengan  prevalensi penyakit  pada  kelompok  tak  terpapar, maka  diperoleh  Prevalence  Ratio  (PR). Demikian  pula  jika  odd  penyakit  pada  kelompok  terpapar  dibagi  dengan  odd penyakit pada kelompok tak terpapar, diperoleh Prevalence Odds Ratio (POR).

1.      Tujuan Studi Cross Sectional
Secara garis besar, tujuan penelitian cross sectional adalah sebagai berikut
a.       Penelitian cross sectional digunakan untuk mengetahui masalah kesehatan masyarakat di suatu wilayah, misalnya suatu sampling survey kesehatan untuk memperoleh data dasar untuk menetukan strategi pelayanan kesehatan atau digunakan untuk membandingkan keadaan kesehatan masyarakat disuatu saat
b.      Penelitian dengan pendekatan cross sectional digunakan untuk mengetahuiprevalensi penyakit tertentu  di suatu daerah tetapi dalam hal- hal tertentu prevalensi penyakit yang ditemukan dapat digunakan untuk mengadakan estimasi insidensi penyakit tersebut. misalnya penyakit yang menimbulkan bekas sepertivariola karena dari bekas yang ditinggalkan dapat diperkirakan insidensi penyakittersebut dimasa lalu tetapi akan sulit memperkirakan insidensi berdasarkan bekas yang ditinggalkan bila bekas tersebut tidak permanen.
c.       Penelitian cross sectional dapat digunakan untuk memperkirakan adanya hubungan sebab akibat bila penyakit itu mengalami perubahan yang jelas dan tetap, misalnyapenelitian hubungan antara golongan darah dengan karsinoma endometrium
            Bila perubahan yang terjadi tidak jelas dan tidak tetap seperti penyakit yang menimbulkan  perubahan biokimia atau perubahan fisiologi dilakukan penelitian cross sectional karena pada penelitian ini sebab dan akibat ditentukan pada waktu yang sama dan antara sebab akibat dapat saling mempengaruhi misalnya hubungan antara hipertensi dengan tingginya kadar kolesterol darah.
d.      Penelitian cross sectional dimaksudkan untuk memperoleh hipotesis spesifik yang akan diuji melalui penelitian analitis, misalnya dalam suatu penelitian cross sectional di suatu daerah ditemukan bahwa sebagian besar penderita diare menggunakan air kolam sebagai sumber air minum. Dari hasil ini belum dapat dikatakan bahwa air kolam tersebut factor resiko timbulnya diare, tetapi penemuan tersebut hanya merupakan suatu perkiraan atau hipotesis yang harus diuji melalui penelitian analitis.

2.      Langkah-langkah Studi Cross Sectional
Untuk melakukan penelitian dengan pendekatan cross sectional dibutuhkan langkah-langkah sebagai berikut.
a.       Identifikasi dan perumusan masalah
Masalah yang akan diteliti harus diidentifikasi dan dirumuskan dengan jelas agar dapat ditentukan tujuan penelitian dengan jelas
Identifikasi masalah dapat dilakukan dengan mengadakan penelaahan terhadap insidensi dan prevalensi berdasarkan catatan yang lalu untuk mengetahui secara jelas bahwa  masalah yang sedang dihadapi merupakan masalah yang penting untuk diatasi melalui suatu penelitian. Dari masalah tersebut dapat diketahui lokasi masalah tersebut berada.
b.      Menetukan tujuan penelitian
Tujuan penelitian harus dinyatakan dengan jelas agar orang dapat mengetahui apa yang akan dicari, dimana akan dicari, sasaran, berapa banyak dan kapan dilakukan serta siapa yang melaksanakannya.
Sebelum tujuan dapat dinyatakan dengan jelas, hendanya tidak melakukan tindakan lebih lanjut. Tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian karena dari tujuan ini dapat ditentukan metode yang akan digunakan.
c.       Menentukan lokasi dan populasi studi
Dari tujuan penelitian dapat diketahui lokasi penelitian dan ditentukan pula populasi studinya. Biiasanya, penelitian cross sectional tdak dilakukan terhadap semua subjek studi, tetapi dilakukan kepada sebagian populasi dan hasilnya dapat diekstrapolasi pada populasi studi tersebut.
Populasi studi dapat berupa populasi umum dan dapat berupa kelompok populasi tertentu tergantung dari apa yang diteliti dan di mana penelitian dilakukan
Agar tidak terjadi kesalahan dalam pengumpulan data, sasaran yang dituju yang disebut subjek studi harus diberi criteria yang jelas, misalnya jenis kelamin, umur, domisili, dan penyakit yang diderita. Hal ini penting untuk mengadakan ekstrapolasi hasil penelitian yaitu kepada siapa hasil penelitian ini dilakukan
d.      Menentukan  cara dan besar sampel
Pada penelitian cross sectional diperlukan perkiraan besarnya sampel dan cara pengambilan sampel. Perkiraan besarnya sampel dapat dihitung dengan rumus Snedecor dan Cochran berikut.
1)      Untuk data deskrit
n=  besar sampel
p=  proporsi yang diinginkan
q=  1-p
Z=  simpangan dari rata- rata distribusi normal standard
L= besarnya selisih antara hasil sampel dengan populasi yang masihh dapat diterima

2)      Untuk data kontinyu
            S2= varian sampel
Cara pengambilan sampel sebaiknya dilakukan acak dan disesuaikan dengan kondisi populasi studi, besarnya sampel, dan tersediannya sampling frame yaitu daftar subjek studi pada populasi studi.

e.       Memberikan definisi operasional
f.        Menentukan variable yang akan diukur
g.       Menyusun  instrument pengumpulan data
Instrument yang akan digunakan dalam penelitian harus disusun dan dilakukan uji coba. Instrument ini dimaksudkan agar tidak terdapat variable yang terlewatt karena dalam instrument  tersebut berisi semua variable yang hendak diteliti
Instrument dapat berupa daftar pertanyaan atau pemeriksaan fisik atau laboratorium atau radiologi dan lain- lain disesuaikan dengan tujuan penelitian
h.       Rancangan analisis
Analisis data yang diperoleh harus sudah dirrencanakan sebelum penelitian dilaksanakan agar diketahui perhitungan yang akan digunakan. Rancangan analisis harus disesuaikan dengan tujuan penelitian agar hasil penelitian dapat digunakan untuk menjawab tujuan tersebut.

3.       Keuntungan dan Kekurangan Cross Sectional
Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan cross sectional mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian sebagai berikut.
Keuntungan dari cross sectional yaitu :
  1. Mudah untuk dilaksanakan
  2. Hasil segera diperoleh
  3. Dapat menjelaskan hubungan antara fenomena kesehatan yang diteliti dengan faktor-faktor terkait (terutama karakteristik yang menetap)
  4. merupakan studi awal dari suatu rancangan studi kasus-kontrol maupun kohort
  5. Dalam penelitian epidemiologi, pendekatan cross sectional merupakan cara yang cepat dan murah untuk mendeteksi adanya kejadian luar biasa
  6. Penelitian cross sectional dapat menghasilkan hipotesis spesifik untuk penelitian analitis (baseline information).
  7. Pendekatan cross sectional dapat digunakan untuk mengetahui prevalensi penyakit tertentu dan masalah kesehatan yang terdapat dimasyarakat dan dengan demikian dapat digunakan untuk menyusun perencanaan pelayanan kesehatan
  8. Memudahkan pengumpulan data dalam waktu relative singkat

Disamping beberapa keuntungan yang telah  disebutkan di atas, penelitian dengan pendekatan cross sectional tidak luput dari beberapa kerugian berikut
  1. Hanya kasus prevalens atau yang tidak terkena dampak tertentu yang diteliti
  2. Membutuhkan skema sampling yang terencana baik sehingga dapat memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk terpilih
  3. Penelitian cross sectional tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi dengan berjalannya waktu
Untuk mengatasi kelemahan ini dapat dilakukan dengan mengadakan penelitian cross sectional berulang- ulang agar dapat diketahui perubahan yang terjadi, misalnya perubahan prevalensi penyakit TBC di suatu daerah, tetapi  cara ini juga mempunyai kelemahan yaitu pada penelitian berikutnya telah terjadi perubahan  dalam distribusi golongan umur dan orang- orang dengan golongan umur tertentu yang bukan berasal dari kohort yang sama karena kemungkinan terjadi migrasi ke  dalam atau ke luar.
Contoh lain adalah survey untuk memperoleh gambaran kesehatan masyarakat disekitar bendungan yang dilakukan sebelum dan setelah dibangunnya bendungan PLTA Cirata, Jawa Barat (Eko Budiarto, dkk., 1982). Penelitian ini menggunakan rancangan pre- intervensi dan post intervensi tanpa kelompok kontrol
d.      Informasi yang diperoleh tidak mendalam sehingga sering kali masalah kesehatan yang dicari tidak diperoleh.
  1. Sulit untuk perhitungan besarnya resiko secara akuran dan sulit menentukan  besarnya insidensi penyakit
  2. Lebih membutuhkan subjek yang lebih besar  terutama bila variable yang diteliti cukup banyak
  3. Tidak dapat digunakan untuk penelitian terhadap penyakit yang jarang dalam masyarakat

B.        Ruang Lingkup Penelitian Retrospektif (Kasus Kontrol)
Penelitian retrospektif sering disebut juga penilitian kasus control, ekspos  factor dan untuk memudahkan agar tidak terjadi kesalahan maka disarankan untuk menggunakan istilah trohok atau trohoc (Alvan Feinstein) yaitu cohort yang dibaca dari belkang sesui dengan proses perjalanna penyakit yang diikuti, sedangkan pada penelitian kohort proses diikuti kedepan artinya dari factor resiko mencari insidensi, sedangkan penelitian retrospektif mengikuti proses ke belakang dari penderita pada keadaan awal untuk mencari factor resiko.
Studi case control adalah rancangan penelitian epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Ciri-ciri studi case control adalah pemilihan subyek berdasarkan status penyakit, untuk kemudian dilakukan pengamatan apakah subyek mempunyai riwayat terpapar faktor penelitian atau tidak. Karakteristik case control antara lain :
  1. Merupakan penelitian observasional yang bersifat retrospektif
  2. Penelitian diawali dengan kelompok kasus dan kelompok kontrol
  3. Kelompok kontrol digunakan untuk memperkuat ada tidaknya hubungan sebab-akibat
  4. Terdapat hipotesis spesifik yang akan diuji secara statistik
  5. Kelompok kontrol mempunyai risiko terpajan yang sama dengan kelompok kasus
  6. Pada penelitian kasus-kontrol, yang dibandingkan ialah pengalaman terpajan oleh faktor risiko antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol
  7. Penghitungan besarnya risiko relatif hanya melalui perkiraan melalui perhitungan odds ratio
            Studi case control bersifat retrospektif, yang maksudnya adalah  jika  peneliti  menentukan  status  penyakit  dulu,  lalu  mengusut  riwayat  paparan  ke belakang. Arah pengusutan seperti  itu bisa dikatakan “anti-logis”, sebab peneliti mengamati  akibatnya  dulu  lalu meneliti  penyebabnya,  sementara  yang  terjadi sesungguhnya  penyebab  selalu  mendahului  akibat.
Pada  studi  kasus  kontrol,  peneliti  menggunakan kasus-kasus  yang  sudah  ada  dan memilih  kontrol  (non-kasus)  yang  sebanding. Lalu peneliti mencari  informasi  status  (riwayat) paparan masing-masing  subjek kasus dan kontrol. Jadi pada studi kasus kontrol peneliti  tidak bisa menghitung risiko  dan  risiko  relatif  (RR).  Sebagai  ganti  risiko,  pada  studi  kasus  kontrol peneliti menggunakan odd. What  is odd? Odd adalah probabilitas dua peristiwa yang berkebalikan, misalnya sakit verus sehat, mati versus hidup, terpapar versus tak  terpapar.  Pada  studi  kasus  kontrol,  odd  pada  kasus  adalah  rasio  antara jumlah kasus yang terpapar dibagi tidak terpapar. Odd pada kontrol adalah rasio antara jumlah kontrol terpapar dibagi tidak terpapar. Jika odd pada kasus dibagi dengan odd pada kontrol, diperoleh Odds  ratio  (OR). OR digunakan pada  studi kasus kontrol sebagai pengganti RR.
Jadi penelitian retrospektif dapat diartikan sebagai suatu penelitian dengan pendekatan longitudinal yang bersifat observasional mengikuti perjalanan penyakit ke arah belakang (retrospektif) untuk menguji hipotesis spesifik tentang adanya hubungan pemaparan  terhadap factor resiko dimasa lalu dengan timbulnya penyakit. Dengan kata lain,  mengikuti perjalanan penyakit dari akibat ke sebab  dengan membandingkan besarnya pemaparan factor resiko di masa lalu antara kelompok kasus dengan kelompok control sebagai pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya penelitian terdiri dari kelompok penderita (kasus) dan kelompok bukan penderita yang akan diteliti sebagai control.

Uraian diatas secata skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

YANG LALU                                                              SAAT INI

Mencari pemaparan factor resiko          retrospektif                   kelompok kasus dan control

SEBAB                                                  AKIBAT

Kelompok kasus atau kelompok penderita ialah kelompok individu yang menderita penyakit yang akan diteliti dan ikut dalam proses penelitian sebagai subjek studi. Hal ini penting dijelaskan karena tidak semua orang yang memenuhi criteria penyakit yang akan diteliti bersedia mengikuti penelitian dan tidak semua penderita memenuhi criteria yang telah ditentukan.
Kelompok control ialah kelompok individu yang sehat atau tidak menderita penyakit yang akan diteliti tetapi memiliki peluang yang sama dengan kelompok kasus untuk terpajan oleh factor rresiko yang diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit dan bersedia menjadi subjek studi

1.       Ciri- Ciri Penelitian Kasus Kontrol/Retrospektif
Penelitian retrospektif memiliki ciri- ciri sebagai berikut:
a.       Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat observasional
b.      Diawali dengan kelompok penderita dan bukan penderita
c.       Terdapat kelompok control
d.      Kelompok control harus memliki resiko terpajan oleh factor resiko yang sama dengan kelompok kasus
e.       Membandingkan besarnya pengalaman terpajan oleh factor resiko antara kelompok kasus dan kelompok control
f.        Tidak mengukur insidensi

2.       Keuntungan Dan Kerugian Penelitian Kasus Kontrol
Penelitian case control memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut:
a.         Sangat sesuai untuk penelitian penyakit yang jarang tterjadi atau penyakit dengan fase laten yang panjang atau penyakit yang sebelumnya tidak pernah ada
b.      Pelaksanaannya relative  lebih cepat jika dibandingkan dengan cohort karena pada penelitian case control  diawali dengan penderita yang berarti penyakit yang diteliti telah timbul, sedangkan pada penelitian cohort, insidensi penyakit yang akan diteliti harus menunggu cukup lama.
c.       Sampel yang dibutuhkan untuk penelitian case control lebih kecil dari pada penelitian cohort walaupun digunakan beberapa control untuk satu kasus.
d.      Biaya penelitiannya relative lebih kecil dibandingkan dengan penelitian cohort karena sampel yang lebih sedikit dan waktu yang lebih singkat
e.       Tidak dipengaruhi oleh factor etis seperti penelitian aksperimen
f.        Data yang ada mungkin dapat dimanfaatkan terutama bila penelitian dilakukan di rumah sakit
g.       Kemungkinan untuk mengadakan penelitian terhadap beberapa factor yang diduga sebagai factor penyebab

Disamping beberapa keuntungan tersebt, terdapat pula beberapa kerugian sebagai berikut:
a.       Kesalahan pemilihan kasus yang disebabkan kesalahan dalam diagnose
b.      Kesalahan dalam pemilihan control
c.       Berpotensi timbulnya bias informasi
d.      Validitas adat yang diperoleh tidak dapat dilakukan
e.       Pengendalian terhadap factor perancu (confounding factor) sulit dilakukan dengan lengkap
f.        Perhitungan resiko relative hanya berupa erkiraan
g.       Tidak didapat dilakukan untuk penelitian evaluasi hasil penelitian

3.       Pengukuran Odd Rasio (=psi)
Pengukuran resiko relatif pada penelitian case control tidak dapat dilakukan secara langsung tetapi hanya berupa perkiraan karena pada penelitian case control tidak mengukur insidensi tetapi hanya mengukur besarnya paparan. Secara skematis dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut

Penyakit
Pemaparan
Positif
Negative
Jumlah
Odds penyakit
Positif
A
B
m1
a/b
Negative
C
D
m2
c/d
Jumlah
n1
n2
N

Odds pemaparan a/c b/d
Odds ratio () (a/b)/(c/d) atau ad/bc
Contoh:
Suatu penelitian tentang hubungan karsinoma paru- paru dengan rokok yang dilakukan secara retrospektif dengan mengambil 100 orang penderita Ca paru- paru sebagai kasus dan 100 orang dengan penyakit lain yang tidak ada hubungannya dengan Ca paru- paru sebagai kelompok control. Kedua kelompok disamakan berdasarkan umur, jenis kelamin, dan social ekonomi
Hasilnya yang diperoleh adalah pada kelompok kasus dengan 90 orang yang merokok, sedangkan pada kelompok control terdapat 40 orang yang merokok. Hal ini dapat digambarkan secara skematis dalam bentuk tabel berikut:

Pajanan
Kasus
Control
Perokok
90
40
Bukan perokok
10
60
Jumlah
100
100

Rate pemaparan pada kelompok kasus= 90/100= 90%
Rate pemaparan pada kelompok control = 40/100= 40%
Odds ratio= (90x60)/(40x 10)= 5400/500= 10,8
Ini berarti bahwa diperkirakan resiko bagi perokok terkena karsinoma paru- paru adalah 10,8 kali lebih besar dibandingkan dengan bukan perokok.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara mendasar dapatlah dikatakan bahwa setiap kejadian/ peristiwa selalu memiliki kecendrungan untuk diikuti oleh peristiwa berikutnya yang secara alamiah akan membentuk rantai peristiwa yang berkesinambungan. Dengan demikian maka beberapa pemikiran dasar di dalam penelitian epidemiologi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Penelitian epidemiologi bertujuan untuk mencari  hubungan sebab akibat berdasarkan faktor penyebab ataupun dengan melihat resiko dan akibatnya
2.      Penelitian epidemiologi dapat dikatakan merupakan proses yang tidak berakhir
Pengamatanà hipotesis à ujiàmodifikasi hipotesisàpenelitian à hipotesisà pengamatan
3.      Penelitian cross sectional merupakan penelitian prevalensi penyakit dan sekaligus dengan prevalensi penyebab/ faktor resiko
4.      Penelitian cross sectional bertujuan untuk mengamati  hubungan antara faktor resiko dengan akibat yang terjadi berupa penyakit atau keadaan (status) kesehatan tertentu dalam waktu bersamaan
5.                  Penelitian case control didasarkan pada kejadian penyakit yang sudah ada/sudah terjadi sehingga memungkinkan untuk dianalisis dua kelompok tertentu yakni kelompok kasus yang menderita dibandingkan kelompok kontrol yang tidak menderita.
6.                  Kelebihan dan kekuranga yang dimiliki ssetiap penelitian memungkinkan peneliti untuk menentukan jenis penelitian yang tepat bagi penelitiannya



B. Saran
Penelitian epidemiologi yang tepat adalah penelitian yang menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan jenis penelitiannya, oleh karena itu untuk dapat melakukan penelitian yang sesuai serta mendapatkan hasil yang memuaskan maka diperlukan pengetahuan yang lebih mengenai jenis- jenis metode penelitian epidemiologis.


DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2009. ’Dermatosis Penyakit Akibat Kerja’,(on line). Dari http://mitcho.com/code/yarpp/ . (Diakses tanggal 8 September 2010).
Anies. 2005. ‘Penyakit Kulit Akibat Kerja’, (on line). Dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/21/ragam01.htm. (Diakses tanggal 28 September 2010).
Anonim. 2010. ‘Konsep Dasar Pruritus’, (on line). Dari http://mvzpry.blogspot.com/2010/03/bab-i-konsep-dasar.html . (Diakses tanggal 28 September 2010).
Anonim. 2010. ’ Kutil (Verruca Vulgaris): Gambaran Klinis dan Diagnosis’, (on line). Dari http://fkunhas.com/kutil-verruca-vulgaris-gambaran-klinis-dan-diagnosis-20100714342.html. (Diakses tanggal 28 September 2010).
Anonim. 2010. ’Pruritus’, (on line). Dari http://kesehatan.myhendra.web.id/2010/06/pioderma.html. (Diakses tanggal 28 September 2010).
Lestari, Cinta. 2008. ’Penyakit Kulit Akibat Kerja’, (on line). Dari http://cintalestari.wordpress.com/2008/11/26/penyakit-kulit-akibat-kerja/. (Diakses tanggal 28 September 2010).
Murti, Bisma. 2011. Desain Studi. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret.
Sayogo, savitri. 2009. Studi Cross Sectional/Potong Lintang. Universitas Indonesia.
Program Dokter Universitas Indonesia. 2009. Penelitian Cross Sectional. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/f995ebfc829941e1047cb56e51404db254bf1929.pdf [ di akses tanggal 24 September 2011]
Budiarto, Eko dan Dewi Anggraeni. 2001. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Bandung: EGC.
Noor, Noor Nasri. 1996. Dasar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.s