Kebisingan
Kebisingan adalah salah satu polusi yang tidak dikehendaki manusia.
Dikatakan tidak dikehendaki karena dalam jangka panjang, bunyi-bunyian
tersebut akan dapat mengganggu ketenangan kerja, merusak pendengaran,
dan menimbulkan kesalahan komunikasi bahkan kebisingan yang serius dapat
mengakibatkan kematian. Semakin lama telinga mendengar kebisingan,
makin buruk pula dampak yang diakibatkannya, diantaranya adalah
pendengaran dapat semakin berkurang
Seseorang cenderung mengabaikan bising yang dihasilkannya sendiri
apabila bising yang ditimbulkan tersebut secara wajar menyertai
pekerjaan, seperti bising mesin ketik atau mesin kerja. Sebagai patokan,
bising yang hakekatnya mekanik atau elektrik, yang disebabkan kipas
angin, transformator, motor, selalu lebih mengganggu daripada bising
yang hakekatnya alami (angin, hujan, air terjun dan lain-lain).
Pengukuran kebisingan dilakukan dengan menggunakan sound level meter.
Prinsip kerja alat ini adalah dengan mengukur tingkat tekanan bunyi.
Tekanan bunyi adalah penyimpangan dalam tekanan atmosfir yang disebabkan
oleh getaran partikel udara karena adanya gelombang yang dinyatakan
sebagai amplitudo dari fluktuasi tekanan. Jika kita mengukur bunyi
dengan satuan Pa ini, maka kita akan memperoleh angka-angka yang sangat
besar dan susah digunakan. Skala decibell ini hampir sesuai dengan
tanggapan manusia terhadap perubahan kekerasan bunyi, yang secara kasar
sebanding dengan logaritma energi bunyi. Ini berarti bahwa energi bunyi
yang sebanding dengan 10, 100, dan 1000 akan menghasilkan ditelinga
pengaruh yang subyektif sebanding dengan logaritmanya, yaitu
masing-masing 1, 2, dan 3. Bila skala logaritma ini dikalikan dengan 10
maka diperoleh skala decibell. Skala decibell ini menggunakan referensi
ambang batas kemampuan dengar 20 mPa. Tingkat tekanan bunyi dari
berbagai bunyi yang sering kita jumpai dinyatakan dalam skala Pa dan dB.
Hal-hal yang terkait dengan kebisingan mengenai sumber bising,
pengukuran, dan pengaruhnya, serta pengendalian kebisingan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Sumber-sumber bising,
Sumber bising dalam pengendalian kebisingan lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Bising interior,
Bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga atau
mesin-mesin gedung yang antara lain disebabkan oleh radio, televisi,
alat-alat musik, dan juga bising yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang
ada digedung tersebut seperti kipas angin, motor kompresor pendingin,
pencuci piring dan lain-lain.
b. Bising eksterior,
Bising yang dihasilkan oleh kendaraan transportasi darat, laut, maupun
udara, dan alat-alat konstruksi. Dalam dunia industri jenis-jenis bising
yang sering dijumpai antara lain meliputi:
- Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang luas. Misalkan suara yang ditimbulkan oleh mesin bubut, mesin frais, kipas angin, dan lain-lain.
- Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang sempit. Misalkan bising yang dihasilkan oleh suara mesin gergaji, katup gas, dan lain-lain.
- Bising terputus-putus (intermittent). Misal suara lalu lintas, suara kapal terbang.
- Bising impulsive seperti pukulan palu, tembakan pistol, dan lain-lain.
Sifat suatu kebisingan ditentukan oleh intensitas suara, frekuensi
suara, dan waktu terjadinya kebisingan. ketiga faktor diatas juga dapat
menentukan tingkat gangguan terhadap pendengaran manusia. Kebisingan
yang mempunyai frekuensi tinggi lebih berbahaya daripada kebisingan
dengan frekuensi lebih rendah. Dan semakin lama terjadinya kebisingan
disuatu tempat, semakin besar akibat yang ditimbulkannya. Disamping itu
juga terdapat faktor lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan studi
tentang kebisingan, faktor tersebut berupa bentuk kebisingan yang
dihasilkan, berbentuk tetap atau terus-menerus (steady) atau tidak tetap (intermittent).
Kerusakan pendengaran manusia terjadi karena pengaruh kumulatif exposure
dari suara diatas intensitas maksimal dalam jangka waktu lebih lama
dari waktu yang diijinkan untuk tingkat kebisingan yang bersangkutan.
2. Pengukuran tingkat kebisingan,
Sumber kebisingan di perusahaan biasanya berasal dari mesin-mesin untuk
proses produksi dan alat-alat lain yang dipakai untuk melakukan
pekerjaan. Sumber-sumber tersebut harus diidentifikasi dan dinilai
kehadirannya agar dapat dipantau sedini mungkin dalam upaya mencegah dan
mengendalikan pengaruh paparan kebisingan terhadap pekerja yang
terpapar. Dengan demikian penilaian tingkat intensitas kebisingan di
perusahaan secara umum dimaksudkan untuk beberapa tujuan, yaitu:
a. Memperoleh data intensitas kebisingan pada sumber suara.
b. Memperoleh data intensitas kebisingan pada penerima suara (pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan).
c. Menilai efektivitas sarana pengendalian kebisingan yang telah ada dan
merencanakan langkah pengendalian lain yang lebih efektif.
d. Mengurangi tingkat intensitas kebisingan baik pada sumber suara maupun pada penerima suara sampai batas diperkenankan.
e. Membantu memilih alat pelindung dari kebisingan yang tepat sesuai dengan jenis kebisingannya.
Setelah intensitas dinilai dan dianalisis, selanjutnya hasil yang
diperoleh harus dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dengan
tujuan untuk mengetahui apakah intensitas kebisingan yang diterima oleh
pekerja sudah melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperkenankan atau
belum. Dengan demikian akan dapat segera dilakukan upaya pengendalian
untuk mengurangi dampak pemaparan terhadap kebisingan. NAB kebisingan di
tempat kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.
51/MEN/1999 yang merupakan pembaharuan dari Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja No. 01/MEN/1978, dan Keputusan Menteri Kesehatan No:
405/Menkes/SK/XI/2002 besarnya rata-rata 85 dB-A untuk batas waktu kerja
terus-menerus tidak lebih dari 8 jam atau 40 jam seminggu. Selanjutnya
apabila tenaga kerja menerima pemaparan kebisingan lebih dari ketetapan
tersebut, maka harus dilakukan pengurangan waktu pemaparan.
3. Pengaruh kebisingan,
Pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi
dua berdasarkan tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu
pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensias tinggi
(diatas NAB) dan kedua, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah
(di bawah NAB), yaitu:
a. Pengaruh kebisingan intensitas tinggi, sebagai berikut:
- Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau ketulian.
- Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputus-putus dan sumber kebisingannya tidak diketahui.
- Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti: meningkatnya tekanan darah dan tekanan jantung, resiko serangan jantung meningkat, dan gangguan pencernaan.
- Reaksi masyarakat, apabila kebisingan dari suatu proses produksi demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya menuntut agar kegiatan tersebut dihentikan.
b. Pengaruh kebisingan intensitas tingkat rendah,
Tingkat intensitas kebisingan rendah banyak ditemukan di lingkungan
kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan, dan lain-lain.
Intensitas kebisingan yang masih dibawah NAB tersebut secara fisiologis
tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya
sering dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu
penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan
karena pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini,
kegelisahan dan depresi. Secara spesifik stres karena kebisingan dapat
menyebabkan dampak, yaitu:
- Stres menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur.
- Gangguan reaksi psikomotor.
- Kehilangan konsentrasi.
- Penurunan performansi kerja yang dapat menimbulkan kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja.
4. Rencana dan langkah pengendalian kebisingan di tempat kerja,
Sebelum dilakukan langkah pengendalian kebisingan, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah membuat rencana pengendalian yang didasarkan pada
hasil penilaian kebisingan dan damapak yang ditimbulkan. Rencana
pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan melalui perspektif
manajemen resiko kebisingan. Manajemen resiko yang dimaksud adalah suatu
pendekatan yang logik dan sistemik untuk mengendalikan resiko yang
mungkin timbul.
Langkah manajemen resiko kebisingan tersebut, yaitu:
a. Mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan yang berada di tempat kerja.
b. Menilai resiko kebisingan yang berakibat serius terhadap penyakit dan cedera akibat kerja.
c. Mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mengendalikan atau meminimasi resiko kebisingan.
Setelah rencana dibuat seksama, langkah selanjutnya adalah melaksanakan
rencana pengendalian kebisingan degan dua arah pendekatan, yaitu
pendekatan jangka pendek (Short-term gain) dan pendekatan jangka panjang (Long-term gain)
dari hirarki pengendalian. Pada pengendalian kebisingan dengan
orientasi jangka panjang, teknik pengendaliannya secara berurutan adalah
mengeliminasi sumber kebisingan secara teknik, secara administratif,
dan penggunaan alat pelindung diri. Sedangkan untuk orientasi jangka
pendek adalah sebaliknya secara berurutan.
a Eliminasi sumber kebisingan,
- Pada teknik eliminasi ini dapat dilakukan dengan penggunaan tempat kerja atau pabrik baru sehingga biaya pengendalian dapat diminimalkan.
- Pada tahap tender mesin-mesin yang akan dipakai, harus mensyaratkan maksimum intensitas kebisingan yang dikeluarkan dari mesin baru.
- Pada tahap pembuatan pabrik dan pemasangan mesin, konstruksi bangunan harus dapat meredam kebsisingan serendah mungkin.
b Pengendalian kebisingan secara teknik,
- Pengendalian kebisingan pada sumber suara. Penurunan kebisingan pada sumber suara dapat dilakukan dengan menutup mesin atau mengisolasi mesin sehingga terpisah dengan pekerja. Teknik ini dapat dilakukan dengan mendesain mesin memakai remote control. Selain itu dapat dilakukan redesain landasan mesin dengan bahan anti getaran. Namun demikian teknik ini memerlukan biaya yang sangat besar sehingga dalam prakteknya sulit di implementasikan.
- Pengendalian kebisingan pada bagian transmisi kebisingan. apabila teknik pengendalian pada sumber suara sulit dilakukan, maka teknik berikutnya adalah dengan memberi pembatas atau sekat antara mesin dan pekerja. Cara lain adalah dengan menambah atau melapisi dinding, plafon, dan lantai dengan bahan penyerap suara.
c. Pengendalian kebisingan secara administratif,
Apabila teknik pengendalian secara teknik belum memungkinkan untuk
dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan teknik
pengendalian secara administratif. Teknik pengendalian ini lebih
difokuskan pada manajemen pemaparan. Langkah yang ditempuh adalah dengan
mengatur rotasi kerja antara tempat yang bising dengan tempat yang
lebih nyaman yang didasarkan pada intensitas kebisingan yang diterima.
d. Pengendalian pada penerima atau pekerja,
Teknik ini merupakan langkah terakhir apabila teknik pengendalian
seperti yang telah dijelaskan diatas belum dimungkinkan untuk dilakukan.
Jenis pengendalian ini dapat dilakukan dengan pemakaian alat pelindung
telinga (tutup atau sumbat telinga). Menurut Pulat (1992) pemakaian
sumbat telinga dapat mengurangi kebisingan sebesar ±30 dB. Sedangkan
tutup telinga dapat mengurangi kebisingan sedikit lebih besar 40-50 dB.
Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di
perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatif lebih
murah. Namun demikian, banyak ditemukan kendala dalam pemakaian tutup
atau sumbat telinga seperti, tingkat kedisplinan pekerja, mengurangi
kenyamanan kerja, dan mengganggu pembicaraan.
Temperatur
Manusia selalu berusaha mempertahankan keadaan normal tubuh dengan
sistem tubuh yang sangat sempurna sehingga dapat menyesuaikan dengan
perubahan yang terjadi diluar tubuhnya. Tubuh manusia menyesuaikan diri
karena kemampuannya untuk melakukan proses konveksi, radiasi, dan
penguapan juka terjadi kekurangan atau kelebihan yang membebaninya.
Tetapi, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan temperatur luar jika
perubahannya tidak melebihi 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk
kondisi dingin terhadap temperatur normal ± 24 °C.
Temperatur udara lebih rendah dari 37 C berati temparatur dara ini
dibawah kemampuan tubuh unutk menyesuaikasn didi (35% dibawah normal),
maka tubuh manuasia akan mengalami kedinginan, karena hilangnya panas
tubuh yang sebagian besar diakibatkan oleh konveksi dan radiasi, juga
sebagian kecil akibat penguapan. Sebaliknya jika temperatur udara
terlalu panas dibanding temperatur tubuh, maka tubuh akan menerima panas
akibat konveksi dan radiasi yang jauh lebih besar dari kemampuan tubuh
untuk mendinginkan tubuhnya malalui sistem penguapan. Hal ini
menyebabkan temperatur tubuh menjadi ikut naik dengan tingginya
temperatur udara. Temparatur yang terlalu dingin akan mengakibatkan
gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur udara yang terlampau panas,
akan mengakibatkan cepat timbulnya kelelahan tubuh dan cenderung
melakukan kesalahan dalam bekerja.
Secara fundamental, ergonomi merupakan studi tentang penyerasian antara
pekerja dan pekerjaannya untuk meningkatkan performansi dan melindungi
kehidupan. Untuk dapat melakukan penyerasian tersebut kita harus dapat
memprediksi adanya stressor yang menyebabkan terjadinya strain dan mengevaluasinya. Mikroklimat dalam lingkungan kerja menjadi sangat penting karena dapat bertindak sebagai stressor yang
menyebabkan strain kepada pekerja apabila tidak dikendalikan dengan
baik. Mikroklimat dalam lingkungan kerja terdiri dan unsur suhu udara
(kering dan basah), kelembaban nisbi, panas radiasi dan kecepatan
gerakan udara.
Negara dengan empat musim, rekomendasi untuk comfort zone pada
musim dingin adalah suhu ideal berkisar antara 19-23°C dengan kecepatan
udara antara 0,1-0,2 m/det dan pada musim panas suhu ideal antara
22-24°C dengan kecepatan udara antara 0,15-0,4 m/det serta kelembaban
antara 40-60% sepanjang tahun (WHS, 1992; Grantham, 1992 dan Grandjean,
1993). Sedangkan untuk negara dengan dua musim seperti Indonesia.
rekomendasi tersebut perlu mendapat koreksi. Kaitannya dengan suhu panas
lingkungan kerja, Grandjean (1993) memberikan batas toleransi suhu
tinggi sebesar 35-40°C, kecepatan udara 0,2 m/detik, kelembaban antara
40-50%, perbedaan suhu permukaan <4°C.
Dengan demikian jelas bahwa mikroklimat yang tidak dikendalikan dengan
baik akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pekerja dan gangguan
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, mempercepat
munculnya kelelahan dan keluhan subjektif serta menurunkan produktivitas
kerja.
Metode terbaik untuk menentukan apakah tekanan panas di tempat kerja
menyebakan gangguan kesehatan adalah dengan mengukur suhu inti tubuh
pekerja yang bersangkutan. Normal suhu inti tubuh adalah 37° C, mungkin
mudah dilampaui dengan akumulasi panas dan konveksi, konduksi, radiasi
dan panas metabolisme. Apabila rerata suhu inti tubuh pekerja >38° C,
diduga terdapat pemaparan suhu lingkungan panas yang dapat meningkatkan
suhu tubuh tersebut. Selanjutnya harus dilakukan pengukuran suhu
lingkungan kerja.
Menurut Sutalaksana, dkk (1979) berbagai tingkat temperatur akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda sebagai berikut:
a. 49 °C: Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh
diatas tingkat kemampuan fisik dan mental. Lebih kurang 30° derajat
Celcius: aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung
untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan. Timbul kelelahan fisik.
b. ± 30 °C: Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun
dan cenderung untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan, timbul kelelahan
fisik.
c. ± 24 °C: Kondisi optimum.
d. ± 10 °C: Kelakuan fisik yang extrem mulai muncul.
Harga-harga diatas tidak mutlak berlaku untuk setiap orang karena
sebenarnya kemampuan beradaptasi tiap orang berbeda-beda, tergantung di
daerah bagaimana dia biasa hidup. Orang yang biasa hidup di daerah panas
berbeda kemampuan beradaptasinya dibandingkan dengan mereka yang hidup
di daerah dingin atau sedang. Tichauer telah menyelidiki pengaruh
terhadap produktifitas para pekerja penenunan kapas, yang menyimpulkan
bahwa tingkat produksi paling tinggi dicapai pada kondisi temperatur 750F - 800F (240C - 270C).
Nilai Ambang Batas (NAB) untuk iklim kerja adalah situasi kerja yang
masih dapat dihadapi tenaga kerja dalam bekerja sehari-hari dimana tidak
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan untuk waktu kerja terus
menerus selama 8 jam kerja sehari dan 40 jam seminggu. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/2002) NAB terendah untuk
temperatur ruangan adalah 18° C dan NAB tertinggi adalah 30° pada
kelembaban nisbi udara antara 65% sampai dengan 95%.
Pencahayaan
Pencahayaan didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang jatuh pada permukaan. Satuannya adalah lux (1 lm/m2),
dimana lm adalah lumens atau lux cahaya. Salah satu faktor penting dari
lingkkungan kerja yang dapat memberikan kepuasan dan produktivitas
adalah adanya penerangan yang baik. Penerangan yang baik adalah
penerangan yang memungkinkan pekerja dapat melihat obyek-obyek yang
dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu.
Penerangan yang cukup dan diatur dengan baik juga akan membantu
menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga dapat
memelihara kegairahan kerja. Telah kita ketahui hampir semua
pelaksanaan pekerjaan melibatkan fungsi mata, dimana sering kita temui
jenis pekerjaan yang memerlukan tingkat penerangan tertentu agar tenaga
kerja dapat dengan jelas mengamati obyek yang sedang dikerjakan.
Intensitas penerangan yang sesuai dengan jenis pekerjaannnya jelas akan
dapat meningkatkan produktivitas kerja. Sanders dan McCormick (1987)
menyimpulkan dari hasil penelitian pada 15 perusahaan, dimana seluruh
perusahaan yang diteliti menunjukkan kenaikkan hasil kerja antara 4-35%.
Selanjutnya Armstrong (1992) menyatakan bahwa intensitas penerangan
yang kurang dapat menyebabkan gangguna visibilitas dan eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang berlebihan juga dapat menyebabkan glare, reflections, excessive shadows, visibility dan eyestrain.
Semakin halus pekerjaan dan mnyangkut inspeksi serta pengendalian
kualitas, atau halus detailnya dan kurang kontras, makin tinggi
illuminasi yang diperluka, yaitu antara 500 lux sampai dengan 100 lux
(Suma’mur, 1996).
Tenaga kerja disamping harus dengan jelas dapat melihat obyek-obyek yang
sedang dikerjakan juga harus dapat melihat dengan jelas pula benda atau
alat dan tempat disekitarnya yang mungkin mengakibatkan kecelakaan.
Maka penerangan umum harus memadai. Dalam suatu pabrik dimana terdapat
banyak mesin dan proses pekerjaan yang berbahaya maka penerangan harus
didesain sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kecelakaan kerja.
Pekerjaan yang berbahaya harus dapat diamati dengan jelas dan cepat,
karena banyak kecelakaan terjadi akibat penerangan kurang memadai.
Secara umum jenis penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua
yaitu penerangan buatan (penerangan artifisial) dan penerangan alamiah
(dan sinar matahari). Untuk mengurangi pemborosan energi disarankan
untuk mengunakan penerangan alamiah, akan tetapi setiap tempat kerja
harus pula disediakan penerangan buatan yang memadai. Hal mi untuk
menanggulangi jika dalam keadaan mendung atau kerja di malam hari. Perlu
diingat bahwa penggunaan penerangan buatan harus selalu diadakan
perawatan yang baik oleh karena lampu yang kotor akan menurunkan
intensitas penerangan sampai dengan 30%. Tingkat penerangan pada-tiap
tiap pekerjaan berbeda tergantung sifat dan jenis pekerjaannya. Sebagai
contoh gudang memerlukan intensitas penerangan yang lebih rendah dan
tempat kerja administrasi, dimana diperlukan ketelitian yang lebih
tinggi.
Menurut Grandjean (1993) penerangan yang tidak didesain dengan baik akan
menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh
dan penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan dampak,
yaitu:
1. Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja.
2. Kelelahan mental.
3. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.
4. Kerusakan indra mata dan lain-lain.
Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan performansi kerja, sebagai berikut:
1. Kehilangan produktivitas
2. Kualitas kerja rendah
3. Banyak terjadi kesalahan
4. Kecelakan kerja meningkat
Intensitas penerangan yang dibutuhkan di masing-masing tempat kerja
ditentukan dan jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi
tingkat ketelitian suatu pekerjaan, maka akan semakin besar kebutuhan
intensitas penerangan yang diperlukan, demikian pula sebaliknya. Standar
penerangan di Indonesia telah ditetapkan seperti tersebut dalam
Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 7 Tahun 1964, Tentang
syarat-syarat kesehatan, kebersihan dan penerangan di tempat kerja.
Standar penerangan yang ditetapkan untuk di Indonesia tersebut secara
garis besar hampir sama dengan standar internasional. Sebagai contoh di
Australia menggunakan standar AS 1680 untuk ‘Interior Lighting‘
yang mengatur intensitas penerangan sesuai dengan jenis dan sifat
pekerjaannya. Secara ringkas intensitas penerangan yang dimaksud dapat
dijelaskan, sebagai berikut:
1. Penerangan untuk halaman dan jalan-jalan di lingkungan perusahaan
harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 20 lux.
2. Penerangan untuk pekerjaan-pekerjaan yang hanya membedakan barang
kasar dan besar paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 50 lux.
3. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang membedakan barang-barang
kecil secara sepintas paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 100
lux.
4. Penerangan untuk pekerjaan yang membeda-bedakan barang kecil agak
teliti paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 200 luks.
5. Penerangan untuk pekerjaan yang membedakan dengan teliti dan
barang-barang yang kecil dan halus, paling sedikit mempunyai intensitas
penerangan 300 lux.
6. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang halus
dengan kontras yang sedang dalam waktu yang lama, harus mempunyai
intensitas penerangan paling sedikit 500 - 1000 lux.
7. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang yang
sangat halus dengan kontras yang kurang dan dalam waktu yang lama, harus
mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 2000 lux.
Tabel Intensitas cahaya di ruang kerja
Jenis Kegiatan
|
Tingkat Pencahayaan Minimal (lux)
|
Keterangan
|
Pekerjaan kasar dan tidak terus-menerus |
100
|
Ruang penyimpanan dan peralatan atau instalasi yang memerlukan pekerjaan kontinyu |
Pekerjaan kasar dan terus-menerus |
200
|
Pekerjaan dengan mesin dan perakitan kasar |
Pekerjaan rutin |
300
|
Ruang administrasi, ruang kontrol, pekerjaan mesin dan perakitan |
Pekerjaan agak halus |
500
|
Pembuatan gambar atau bekerja dengan mesin kantor, pemeriksaan atau pekerjaan dengan mesin |
Pekerjaan halus |
1000
|
Pemilihan warna, pemrosesan tekstil, pekerjaan mesin halus dan perakitan halus |
Pekerjaan sangat halus |
1500
tidak menimbulkan bayangan
|
Mengukir dengan tangan, pemeriksaan pekerjaan mesin, dan perakitan yang sangat halus |
Pekerjaan terinci |
3000 tidakmenimbulkan bayangan
|
Pemeriksaan pekerjaan, perakitan sangat halus |
Uraian tentang lingkungan kerja fisik tersebut dapat dipertegas bahwa
dengan pengendalian faktor-faktor yang berbahaya di lingkungan kerja
diharapkan akan tercipta lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan
produktif bagi tenaga kerja. Hal tersebut dimaksudkan untuk menurunkan
angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja sehingga akan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja.
Sumber Referensi :
Departemen Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/2002. www.depkes.go.id
Hicks, Charles. Fundamental Concepts in the Design of Experiments.Florida : Saunders College Publishing. 1993.
McCormick,E.J and M.S. Sanders. Human Factor in Engineering and Design. New York : McGraw Hill Book Company, 1994.
Montgomery, Douglas. Design and Analysis of Experiments. New York : John Wiley & Sons Inc. 1991.
Muhaimin. Teknologi Pencahayaan. Bandung: Refika Aditama, 2001.
Nurmianto, Eko. Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya : Penerbit Guna Widya, 1995.
Sudjana. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung : Penerbit Tarsito. 1995.
Sudjana. Metoda Statistika.. Bandung : Penerbit Tarsto. 1992.
Suma’mur. Hyperkes Kesehatan Kerja Dan Ergonomi. Jakarta: Muara Agung Dharma Bhakti, 1987.
Sutalaksana dkk. Teknik Tata Cara Kerja. Jurusan Teknik Industri, Bandung : ITB, 1979.
Tarwaka dkk. Ergonomi untuk keselamatan Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta : UNIBA PRESS, 2004.
Wignjosoebroto, Sritomo. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu : Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja. Surabaya : Penerbit Guna Widya, 2000
SUSAH NAK BACA BRO
BalasHapus